Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) 2025 menjadi salah satu isu politik paling panas di Indonesia tahun ini. RUU ini memicu perdebatan sengit di parlemen, media, dan masyarakat. Bagi sebagian pihak, revisi undang-undang dianggap penting untuk memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan keamanan modern. Namun, bagi pihak lain, RUU ini justru berpotensi mengancam demokrasi, memperlebar jarak sipil-militer, dan mengembalikan bayang-bayang masa lalu.
Kontroversi ini bukan sekadar soal aturan teknis, melainkan menyangkut arah masa depan sistem politik dan keamanan Indonesia. Apakah RUU TNI akan memperkuat negara dalam menghadapi ancaman baru seperti terorisme, kejahatan siber, dan konflik internasional? Ataukah justru memperlemah posisi sipil dalam mengontrol militer?
Artikel panjang ini akan mengulas secara komprehensif kontroversi RUU TNI 2025. Kita akan membahas latar belakang, isi pasal kontroversial, pandangan pro-kontra, dampaknya bagi demokrasi, serta bagaimana implikasinya terhadap stabilitas nasional.
Latar Belakang RUU TNI 2025
Undang-Undang TNI yang berlaku saat ini adalah UU No. 34 Tahun 2004. Setelah dua dekade berjalan, pemerintah dan DPR menilai perlu adanya pembaruan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejumlah alasan diajukan sebagai dasar revisi, antara lain:
-
Ancaman Keamanan Baru – Tantangan keamanan modern seperti kejahatan siber, perubahan iklim, dan ancaman non-tradisional belum terakomodasi dalam UU lama.
-
Peran TNI dalam Dunia Internasional – Indonesia ingin memperkuat peran TNI dalam misi perdamaian dunia dan diplomasi militer.
-
Kebutuhan Internal TNI – Struktur organisasi, kesejahteraan prajurit, serta mekanisme alutsista memerlukan pembaruan hukum.
Namun, revisi ini memunculkan pasal-pasal baru yang dianggap kontroversial. Misalnya, soal perpanjangan masa dinas perwira tinggi, perluasan peran TNI dalam bidang non-pertahanan, serta keterlibatan aktif militer dalam jabatan sipil.
Isi Pasal-Pasal Kontroversial
Beberapa pasal dalam RUU TNI 2025 menjadi sorotan publik karena dianggap problematis.
Perpanjangan Masa Dinas
RUU mengusulkan perpanjangan masa dinas perwira tinggi dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Pemerintah beralasan perpanjangan ini dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan kepemimpinan. Namun, pengkritik menilai hal ini berpotensi menghambat regenerasi dan karier perwira muda.
Perluasan Peran TNI
Pasal lain memperluas peran TNI ke sektor non-militer, seperti keamanan siber, pengamanan energi, hingga keterlibatan dalam proyek strategis nasional. Bagi sebagian pihak, ini dianggap penting karena TNI punya kapasitas. Namun, kelompok sipil khawatir hal ini membuka jalan kembalinya dwifungsi TNI.
Jabatan Sipil untuk Militer
RUU juga membuka peluang lebih besar bagi perwira aktif menduduki jabatan sipil, baik di kementerian maupun BUMN. Kritik datang karena hal ini dianggap melanggar prinsip supremasi sipil yang menjadi salah satu pilar demokrasi pasca reformasi.
Pandangan Pro terhadap RUU TNI
Pendukung RUU TNI 2025 memiliki sejumlah argumen kuat.
Menghadapi Ancaman Modern
Indonesia menghadapi ancaman baru yang membutuhkan peran militer lebih aktif. Kejahatan siber, ancaman teror lintas negara, hingga konflik maritim membutuhkan keterlibatan TNI.
Memperkuat Ketahanan Nasional
RUU ini dianggap bisa memperkuat ketahanan nasional dengan memperluas kewenangan TNI dalam melindungi aset vital negara.
Efisiensi dan Profesionalisme
Dengan perpanjangan masa dinas, TNI bisa menjaga kesinambungan kepemimpinan dan mengurangi risiko kekosongan jabatan strategis.
Kontribusi Pembangunan
Keterlibatan TNI dalam proyek strategis nasional bisa mempercepat pembangunan, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau instansi sipil.
Pandangan Kontra terhadap RUU TNI
Kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis HAM menyampaikan kekhawatiran serius terhadap RUU ini.
Ancaman terhadap Demokrasi
Perluasan peran TNI di bidang non-militer dianggap mengembalikan dwifungsi TNI yang dulu dihapus pasca reformasi. Ini bisa melemahkan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi Indonesia.
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Keterlibatan TNI dalam jabatan sipil bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan, bahkan penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman masa lalu Orde Baru menjadi peringatan keras.
Hambatan Regenerasi
Perpanjangan masa dinas bisa menutup jalan regenerasi bagi perwira muda. Akibatnya, muncul stagnasi dalam struktur karier militer.
Kekhawatiran HAM
Perluasan kewenangan TNI bisa memperbesar potensi pelanggaran HAM, terutama jika TNI terlalu aktif dalam urusan sipil.
Dampak terhadap Demokrasi Indonesia
Kontroversi RUU TNI 2025 tidak bisa dilepaskan dari dinamika demokrasi di Indonesia.
Supremasi Sipil
Salah satu prinsip utama demokrasi adalah supremasi sipil atas militer. Jika RUU disahkan tanpa kontrol yang ketat, hal ini bisa mengikis prinsip tersebut.
Ruang Sipil yang Menyempit
Peran TNI yang terlalu luas bisa mengurangi ruang sipil. Lembaga sipil bisa kehilangan otoritasnya karena fungsi yang tumpang tindih dengan militer.
Keseimbangan Kekuasaan
Demokrasi membutuhkan keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan militer. RUU ini bisa menggeser keseimbangan tersebut jika kewenangan TNI terlalu besar.
Implikasi bagi Stabilitas Nasional
RUU TNI juga memiliki implikasi besar terhadap stabilitas nasional.
Jangka Pendek
Dalam jangka pendek, RUU bisa meningkatkan kapasitas negara menghadapi ancaman keamanan. Namun, kontroversi yang muncul juga bisa memicu protes masyarakat dan melemahkan legitimasi politik.
Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, jika RUU tidak diatur dengan baik, Indonesia bisa menghadapi risiko demokrasi yang mundur. Hal ini berpotensi menciptakan instabilitas politik yang lebih besar.
Perbandingan dengan Negara Lain
Untuk memahami konteks, kita bisa melihat bagaimana negara lain mengatur peran militer.
-
Amerika Serikat – Menjaga prinsip ketat supremasi sipil. Militer tidak boleh terlibat dalam urusan sipil tanpa persetujuan kongres.
-
Thailand – Sering menghadapi kudeta militer karena peran militer yang terlalu besar dalam politik.
-
Filipina – Militer masih berperan besar dalam urusan sipil, memicu kritik dari masyarakat sipil.
Dari perbandingan ini, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pola negara yang militeristik.
Solusi dan Jalan Tengah
Untuk menyelesaikan kontroversi, beberapa solusi bisa dipertimbangkan.
-
Pengawasan Ketat – Jika RUU disahkan, perlu ada mekanisme pengawasan ketat dari parlemen dan masyarakat sipil.
-
Batasan yang Jelas – Peran TNI di bidang non-militer harus dibatasi secara jelas agar tidak tumpang tindih dengan lembaga sipil.
-
Fokus pada Profesionalisme – Reformasi militer harus diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme, bukan memperluas kekuasaan.
-
Partisipasi Publik – RUU harus dibahas secara terbuka dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pakar HAM.
Penutup
Kontroversi RUU TNI 2025 mencerminkan tarik ulur antara kebutuhan keamanan negara dan prinsip demokrasi. Bagi pemerintah, revisi UU dianggap perlu untuk menghadapi tantangan modern. Namun, bagi masyarakat sipil, pasal-pasal kontroversial bisa mengancam demokrasi yang dibangun pasca reformasi.
Apapun hasil akhirnya, yang jelas RUU TNI akan menjadi titik penting dalam sejarah politik Indonesia. Apakah akan memperkuat negara atau justru melemahkan demokrasi, sangat tergantung pada isi final RUU dan mekanisme pengawasan yang menyertainya.